Kamis, 10 Desember 2009

Bimsalabim Keadilan di Negeri ini

Hukum terkadang seakan tak pernah berpihak kepada yang lemah dan miskin. Kesalahan sedikitpun yang dibuat mereka harus dibayar dengan ‘siksaan’ yang besar. Ini tentu sangat kontradiktif dengan apa yang dialami orang-orang “besar”, para koruptor, pejabat dll.

Hukuman yang diterima meskipun terbukti bersalah masih terasa ringan dengan ‘kenikmatan’ yang mereka rasakan dari hasil kejahatannya itu. Hukum di Indonesia memang harus ditegakkan. Namun, hukum di Indonesia terkadang hanya berlaku bagi masyarakat kelas bawah.

Ini bukan isu namun benar benar nyata terjadi di Indonesia raya, yang katanya negera hukum. Nah, masih ingat kejadian yang menimpa Nenek Minah (55) yang dihukum gara-gara mencuri 3 kakao. Kejadian serupa juga terjadi di Kediri, Jawa Timur. Seperti dilansir detik.com, nasib mengenaskan juga menimpa Kholil (51) dan Basar (40) warga Lingkungan Bujel, Kelurahan Sukorame, Kecamatan Mojoroto.

Keduanya menjadi pesakitan di pengadilan karena mencuri 1 buah semangka dan terancam hukuman lima tahun penjara. Kholil dan Basar pada hari ini, Selasa (24/11/2009) menjalani sidang perdana.

Peristiwa itu terjadi 2 bulan yang lalu saat mereka iseng mengambil buah semangka di kebun milik Darwati (34), warga Kelurahan Ngampel, Kecamatan Mojoroto. Tak disangkanya, saat akan menikmati buah semangka itu mereka kepergol pemilik dan langsung melaporkan keduanya ke polisi.

"Awan-awan mas, jenengen wong kepanasen enek semongko kan yo pengen. Yo pancene apes, jik are mecah sing dhuwe ngerti terus bengok maling (Siang-siang mas, namanya orang kepanasan ada semangka kan kepengen. Ya memang sial, masih akan memecah, yang punya tahu dan langsung teriak maling)," kata Kholil dari balik jeruji besi tahanan PN Kota Kediri.

Setelah menjalani proses penyidikan di Mapolsek Mojoroto, keduanya kemudian dilimpahkan ke kejaksaan dan pengadilan untuk disidangkan. Mereka didakwa melakukan tindak pidana pencurian biasa, dengan melanggar Pasal 362 KUHP dan mendapatkan ancaman hukuman 5 tahun penjara.

Sementara itu Jaksa Penuntut Umum (JPU) atas perkara yang menimpa Kholil dan Basar, Dwianto, mengaku hanya menjalankan tugas. Kejari diakuinya hanya melanjutkan kasus yang telah dilimpahkan oleh kepolisian.

Ditanya mengenai kemungkinan penghentian perkara itu, menurutnya kemungkinan kecil dapat dilakukan. Dwianto mengatakan seluruh unsur pelanggaran pidana dalam perkara itu telah terpenuhi.

Peristiwa serupa tapi tak sama juga dialami enam anak laki-laki yaitu RA (15), AAS (14), FAR (17), DTS (17), AHK (17), dan IPMY (17) warga Maospati, Magetan. Seperti yang dikabarkan Kompas, mereka di penjara sejak 25 Juni 2009 hanya gara-gara mencuri enam biji jagung. Saat ini keenam anak tersebut masih menjalani proses persidangan di Pengadilan Negeri, Magetan.

Keenam anak ini awalnya ditahan di Polsek Maospati mulai tanggal 25 Juni 2009 karena telah mencuri enam biji jagung di areal tanaman jagung milik Slamet Riyadi di Bulusari, Maospati. Mereka mencuri jagung setelah pulang dari memancing. Kemudian pada 2 Juli 2009, keenam anak itu dipindahkan ke Rumah Tahanan kelas II B Magetan.

Mereka didakwa pasal 363 ayat 1 butir 4 KUHP yang menyebutkan pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dan diancam pidana penjara paling lama tujuh tahun.


Penegakan Hukum, Katannya!

Pelanggaran hukum sepele yang melibatkan masyarakat kecil yang langsung ditindak aparat penegak hokum seakan lagi ngetren. Seperti yang lansir SCTV.com.Di Yogyakarta, baru-baru ini, seorang kakek berusia 76 tahun bernama Klijo ditahan karena dituduh mencuri setandan pisang seharga Rp 2.000.

Peristiwa berawal ketika Klijo tengah bersepeda yang kemudian diminta sekelompok anak untuk menebang pisang di pinggir jalan. Perbuatan Mbah Klijo--demikian Klijo sering disapa--dilaporkan sejumlah warga ke polisi. Mbah Klijo pun langsung ditahan di Kepolisian Sektor Godean dan kemudian dititipkan ke Lembaga Pemasyarakatan Cebongan. Selengkapnya, simak video berikut.

Sementara kuasa hukum Mbah Klijo berharap polisi tidak hanya berpegang pada alasan yuridis formal dan mengabaikan substansi penegakan hukum.

Nasib lebih tragis, justru dialami Parto Warga Desa Peranti, Situbondo, Jawa Timur. Hanya gara-gara mencuri lima batang pohon jagung dijerat hukuman lima tahun penjara?

Pada polisi, Parto mengaku mencuri ketika sedang mencari rumput di sawah. Ia tak menyangka pemilik lahan jagung, Supadi melaporkan ia ke Kepolisian Sektor Asembagus. Padahal Parto sudah meminta maaf. Namun karena sudah masuk ke ranah hukum, berkasnya berlanjut hingga ke Kejaksaan Negeri Situbondo.

Nasib yang serupah bahkan miris dan lucu dialami Endi Rohendi, seorang buruh tani di Sumedang, Jawa Barat, terancam dijerat hukuman lima tahun penjara karena mencuri sehelai celana dalam milik seorang wanita pada Oktober silam.
Endi membantah mencuri dengan alasan menggunakan pakaian dalam ini untuk membersihkan telepon selularnya. Korban saat ditanya hakim memaafkan perbuatan terdakwa, namun dengan syarat tidak mengulangi perbuatannya.Meski demikian, hukum tetap berjalan dan terdakwa Endi terancam hukuman lima tahun penjara.

Beragam fenomena hukum karena kasus sepele bukanlah yang pertama kali di Indonesia. Cerita tragis mulai Nenek Minah yang mencuri buah kakao, dan Rasjo seorang kakek berusia 77 tahun yang mencuri sabun mandi hingga Endi Rohadi mengundang pertanyaan besar dalam benak saya.

Betapa ‘rajinnya’ para penegak hukum di negeri yang bernama Indonesia ini menjalankan tugasnya menegakkan hukum bagi yang melanggar?. Namun, pertanyaan yang lebih besar justru semakin mengemuka, mengapa penegakan kasus-kasus pelanggaran hukum yang jauh lebih tidak “sepele” justru seakan disepelekan dan berlarut-larut? Masih banyak kasus-kasus besar seperti korupsi, skandal kebijakan, Kasus Bank Centuri yang butuh penanganannya lebih cepat dan tepat. Atau nilai para pengak hukum kita memang hanya setaraf dengan enam biji jagung, setandan pisang, tiga biji kakau, lima batang pohon jagung, atau bahkan selembar celana dalam wanita?